Rabu, 20 Januari 2010

Menengok Ulang Implementasi Konvensi Hak Anak di Indonesia (disadur dari buletin sadar)

Tanggal 5 Oktober. Pada tanggal ini mungkin orang di Indoensia secara umum akan lebih banyak sebagai hari lahirnya tentara. Tak salah memang ingatan itu, melihat begitu banyaknya sejarah dan peristiwa di negeri ini yang berhubungan dengan kemiliteran. Entah mungkin begitu heroiknya tentara dalam cerita perang melawan penjajah, atau bahkan cerita tentang seribu satu macam pelanggaran HAM yang melibatkan institusi tersebut.

Tapi mungkin hanya sedikit yang tahu, bahwa pada tanggal tersebut ada satu peristiwa lain yang tak kalah penting bagi perkembangan HAM di Indonesia. Tepatnya pada tanggal 5 Oktober 1990, Konvensi Hak Anak (KHA) pertama kali berlaku di Indonesia, Setelah sebelumnya melalui keputusan presiden No. 36/1990, tertanggal 25 Agustus 1990, Indonesia meratifikasi KHA.

Dalam sejarahnya, KHA ini bermula dari sebuah gagasan mengenai hak anak pada masa berakhirnya perang dunia pertama. Sebuha kondisi, dimana akibat dari perang tersebut, begitu sangat merugikan masyarakat dunia, khususnya kaum perempuan dan anak-anak. Seruan agar adanya sebuah perhatian dari publik dan tentunya perhatian yang lebih pula dari negara, atas nasib anak-anak yang menjadi korban perang dunia, seringkali diteriakan oleh para aktifis perempuan.

Adalah Eglantyne Jebb, salah seorang aktifis perempuan yang kemudian mengembangkan sepuluh butir pernyataan tentang hak anak. Yang selanjutnya pada tahun 1924, untuk pertamakalinya deklarasi hak anak diadopsi oleh Liga Bangsa-Bangsa. dan selanjutnya pada tahun 1959, Majelis Umum PBB kembali mengeluarkan pernyataan mengenai hak anak. Tahun 1979, yang merupakan tahun anak Internasional, pemerintah Polandia mengajukan usulan bagi perumusan suatau dokumen standart internasional bagi pengakuan terhadapa hak-hak anak dan mengikat secara yuridis. Lalu sepuluh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1989, rancangan konvensi hak anak berhasil diselesaikan, dan naskah akhirnya disahkan oleh Majelis Umum PBB sebagai Konvensi Hak Anak (KHA). Namun demikian, pemberlakuan KHA sebagai hukum internasional baru dimulai pada tanggal 2 September 1990.

Melihat rentetan tahun bersejarah tersebut, begitu panjang perjuangan agar anak mendapatkan sebuah pengakuan dan perlindungan secara khusus terhadap hak-haknya. Karena anak sebagai individu yang belum matang secara fisik, mental amupun sosial, maka acap kali kondisinya bersiko terhadap tindak eksploitasi ekonomi, eksploitasi seksual, korban perdagangan maupun bentuk-bentuk lain dari eksploitasi.

Pertanyaan bagaimana implementasi KHA itu di Indonesia, selayaknya adalah pemerintah yang harus menjawabanya. Karena mereka sebagai intitusilah yang mempunyai kewajiban untuk menjalankan KHA tersebut. dan Indonesia adalah satu dari 188 negara yang telah melakukan ratifikasi KHA (sampai tahun 1996). Secara legislasi, pemerintah telah melakukan upaya implementasi dengan dikeluarkanya Kepres No. 36/1990, UU No. 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, UU No. 23 tahun 2003, tentang Perlindungan Anak, serta aturan-aturan terkait lainya. Dan langkah ini selayaknya mendapatkan apresiasi sebagai wujud nyata upaya perlindungan terhadap anak.

Namun demikian, seperti pada persoalan-persoalan lainya, secara praktis, upaya tersebut sangatlah buruk dilapanganya. Karena terbukti sampai sekarang, masih bnayk sekali persoalan-persoalan yang menyangkut hak-hak anak yang belum dipenuhi oleh pemerintah. Belum lagi persoalan kekerasan terhadap anak yang masih banyak terjadi, khususnya didaerah-daerah konflik. Juga persoalan eksploitasi terhadap anak yang dijadikan sebagai tenaga kerja murah, yang semata-mata untuk keuntungan pengusaha semata. Lalu eksploitasi seksual masih banyak sekali terjadi di negeri ini, khususnya perdagangan anak yang berada dikawasan prostitusi atau diberbagai tempat hiburan.

Menelaah lebih jauh tentang ekspolitasi seksual terhadap anak, merupakan salah satu pelanggaran yang besar terhadap hak-hak anak, yang dalam bentuknya dapat berwujud prostitusi terhadap anak, pornografi anak dan juga perdagangan anak untuk tujuan seksual komersial. Dan pelanggaran tersebut terjadi seperti kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian imbalan. Dimana anak tersebut diperlakukan sebagai objek seksual dan objek komersial, yang merupakan bentuk pemaksaan dan kekerasan terhadap anak yang mengarah pada bentuk-bentuk kerja paksa, serta perbudakan modern. Data dari IPEC-ILO tahun 2004, menyebutkan bahwa sekurangnya 27% anak yang masih dibawah umur (berusia dibawah 18 tahun), atau sekitar 2329 anak dari sekitar 8440 pekerja seks komersil yang berada diwilayah Dolly, Surabaya. Sementara data lain menurut Saleemah Ismail dari UNIFEM, menyatakan lebih dari 40% dari sekitar 19000 pekerja seks di Batam berusia dibawah 18 tahun.

Keberadaan anak dalam bisnis prostitusi ini tentunya tidak lahir dari keinginan anak untuk berada disana. melainkan adalah dari sebuah bentuk perdagangan anak. DImana adanya proses perekrutan, pemindahtanganan, penampungan dan penerimaan anak. Dari pantauan media massa yang dilakukan oleh tim gugus tugas anti trafficking. Di tahun 2006 saja, setidaknya tercatat ada 184 korban perdagangan yang 35 diantaranya adalah anak-anak yang ditempatkan di wilayah Dolly, Surabaya. Dan kebanyakan dari korban perdagangan anak tersebut, berlatarbelakang dari keluarga yang tidak mampu, berpendidikan rendah atau dari keluarga yang sudah tidak lengkap.

Upaya pencegahan seharusnya memang secara aktif dan nyata bisa dilakukan oleh pemerintah, khususnya kepolisian yang mempunyai kewenangan untuk melakuan penyidikan, penyelidikan bahkan penangkapan terhadap para pelaku perdagangan anak. terlebih lagi, payung hukum juga sudah tersedia. Juga penting dinyatakan bahwa penanganan perdagangan anak jangan hanya diwilayah hilir saja, namun juga dihulu harus ada tindakan juga dari pemerintah. Karena melihat latar belakang dari para korban yang pada umumnya miskin dan berpendidikan rendah. Yang tentunya dalam penagananya, apa yang dilakukan di hulu dan hilir berbeda bentuknya. Kesejahteraan bagi rakyat harus menjadi prioritas utama bagi pemerintah, dalam bentuk pembangunan yang berkeadilan. Khususnya akses pendidikan dan lapangan pekerjaan yang dapat diserap oleh kaum perempuan. Karena jika hal ini dilakukan, maka tak hanya perdagangan anak saja yang teratasi, tapi juga akan berimbas pada penyelesaian pada persoalan-persoalan yang lain.

Daftar Pustaka:
1. Tim Indonesia Act, 2008, Perdagangan Anak untuk Tujuan Komersial (kasus-kasus di Surabaya dan Batam).
2. UNICEF, 2003, Pengertian Konvensi Hak Anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar